Seni Gemyung


SENI GEMYUNG (TERBANG) ”PUSAKA MEKAR”

    Seni Gemyung (Terbang) adalah salah satu kesenian rakyat yang ada di daerah pelosok, biasanya di mainkan dalam acara upacara ruawatan atau menyambut upacara “Nyi Sri” dan “Guar Bumi”. Seni Gemyung ini belum ada kepastian asal muasalnya dari mana, ada yang menyebut dari India, ada juga sebagian yang bilang bahwa ini dari Persia, cuman yang saya bisa telusuri bahwa seni gemyung (terbang) ini masuknya ke tanah Jawa berbarengan dengan masuknya agama Islam. Dalam sejarah masuknya Islam ke tanah Jawa di bawa oleh para saudagar asal Gujarat, sedangkan Gujarat itu adanya di tanah Persia. Tanah Jawa yang paling duluan masuk Islam adalah tanah Jawa Pesisir Utara yaitu Cirebon, apalagi disana ada sebuah Pelabuhan. Para saudagar tadi menyebarkan agama Islam salah satu media yang di pakai diantaranya adalah memakai media seni gemyung. Sampainya ke Sumedang juga ada beberapa persi, diantara yang saya temukan adalah melalui Pangeran Santri. Pangeran Santri adalah Bupati Sumedang, beliau adalah suami dari Ratu Pucuk Umun yang melahirkan Prabu Geusan Ulun.

    Awal mula ada seni Gemyung di Cikeresek Desa Cilangkap sebelum adanya desa Sekarwangi pada jaman Belanda tahun 1938, yang menjadi pimpinannya adalah buyut Sarji. Alat musik yang di gunakan pada waktu itu masih sangat sederhana sekali, goongnya memakai bambu yang di tiup, belum ada goong besi seperti sekarang. Digantinya menjadi goong besi adalah pada tahun 1960 di jaman kepemimpinan aki Arhawi. Terbang mempunya 6 turunan dari yang paling besar sampai ke yang paling kecil. Setelah wafatnya buyut Sarji di lanjutkan oleh buyut Asmali, sampai saat itu tidak lekang kesenian terbang/gemyung itu selalu saja ada yang meneruskan. Setelah sepeninggalan Buyut Asmali dilanjutkan oleh aki Arhawi pada sekitar tahun 1960, yang selanjutnya sepeninggal beliau kemudian digantikan oleh aki Miharja. “Pada saat itu saya sendiri tau karena sering menonton pertunjukan gemyung” ungkap pa Adang Cengos, malah ada istilah kesurupan segala. Gemyung kala itu tidak hanya di tampilkan di kampung-kampung saja, ada yang di makam atau tempat-tempat yang telah selesai membuat bendungan atau parit.


Sumber Gambar : Bapak Adang Cengos

    Postur aki Miharja pendek, buntat dan ada jambangnya, hobi beliau berburu serta menjala ikan. Di jaman bapa Kuwu  Mad Enoh beliau di tunjuk menjadi ketua Kampung, pada saat itu tidak ada pemilihan masih ditunjuk berdasarkan kebanyakan kata sesepuh. Setelah wafatny aki olot Miharja pada tahun 1993 dari saat itu gemyung sepi tidak ada yang melanjutkan, di karenakan putra-putri aki Miharja perempuan semua. Alat terbangnya pada waktu itu sampai rusak karena tidak ada yang mengurus, malahan dari 6 hanya tersisa 3 saja.

    Setelah cucu beliau dewasa yaitu pa Adang, pada tahun 2001 ada keinginan untuk meneruskan seni gemyung tersebut. Dari semenjak itu di carilah para nayaga yang masih ada. Lagu-lagunya pun sudah banyak yang hilang. Seni gemyung ”Pusaka Mekar” yang di pimpin oleh bapa Adang bisa sampai seperti sekarang tidak lepas dari adanya dorongan dari para seniman yang mencintai seni tradisi.


Sumber Gambar : Bapak Adang Cengos

    Sampai pada masa ini masih banyak yang mengundang pertunjukan seni gemyung, baik untuk acara guar bumi, ruwatan atau acara sunatan dan sebagainya. Namun karena perkembangan jaman maka seni gemyung di bawah pimpinan bapak Adang mengalami sedikit perubahan baik dari alat yang digunakan maupun jenis lagu yang di tampilkan. Semua itu bertujuan agar tidak mengecewakan yang meminta pertunjukan. Di adakanlah juru kawih atau sinden untuk mensiasati keinginan para penggemar seni gemyung itu sendiri. Akan tetapi tidak semuanya berubah pada lagu pembukaan ada lagu-lagu yang wajib seperti kembang gadung kemudian dilanjutkan Yate atau Engko.
Sekian yang dapat saya telusuri, kurang lebihnya mohon maaf.

Sumber Materi : Hasil Wawancara Bapak Adang Cengos 
Penulis : Dila Sagita Febriyanti
Nim : 18123019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tari Wayang

Gending Karesmen

Tari Umbul