Kesenian Benjang


BENJANG

  Munculnya seni benjang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pabrik tapioka milik Mas Hasandikarta di Cinunuk. Menurut keterangan masyarakat sekitar, apabila musim panen singkong atau padi tiba, di lingkungan pabrik diselenggarakan syukuran. Dalam acara syukuran yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga karyawan dan masyarakat sekitar disajikan berbagai hiburan setempat, seperti reog, tanji, ibing silat, dan lain-lain. Untuk lebih memeriahkan acara tersebut. Mas Hasandikarta juga mengundang jawara atau jagoan silat dari luar daerah, di mana mereka diberi kesempatan untuk menunjukkan keahlian dan ketangkasannya.
  Salah satu jenis ketangkasan yang biasa dilakukan oleh para buruh pabrik itu adalah seni dogong, yaitu seni adu kekuatan menggunakan alat penumbuk padi (halu), di mana dua orang laki-laki saling berhadapan untuk kemudian saling mendorong lawannya menggunakan alat penumbuk padi tersebut. Biasanya seni dogong ini diselenggarakan di sebuah lapangan yang diberi batas segi empat atau lingkaran. Dalam permainan ini, apabila seseorang terdorong keluar garis batas yang sudah ditentukan, maka ia dinyatakan kalah. Di sinilah para jawara beraksi untuk menghibur masyarakat di lingkungan tersebut.


 Dari permainan saling dorong menggunakan halu itu kemudian berubah menjadi permainan mengadu pundak tanpa alat. Dari adu pundak ini berkembang menjadi saling genjang. Dalam permainan saling genjang, sepasang petanding tidak lagi saling dorong tapi saling banting dengan kedua tangan memegang pinggang lawan masing-masing. Bagi yang berhasil membanting lawannya, ia dinyatakan menang.
  Permainan saling banting itu berkembang menjadi saling menindih, yang biasanya dilakukan setelah salah seorang berhasil membanting yang kemudian dilanjutkan dengan menindihnya. Dari genjang berkembang menjadi barang, di mana permainan menjadi saling tindih antarpetanding. Pertunjukannya sendiri biasanya dilengkapi dengan seseroan, dodombaan, kuda lumping, dan sebagainya. Beberapa gerak tari yang biasa digunakan dalam seni benjang antara lain adalah piting, gitik, dan sebagainya.
Pada awal kemunculannya sekitar tahun 1975-an, seni benjang sering tampil dalam acara hiburan pada pesta perkawinan, khitanan, pascapanen atau pada 40 hari kelahiran bayi. Di beberapa acara, misalnya pada acara pesta khitanan, seni benjang masih menunjukkan unsur magisnya lewat pimpinan rombongan dengan jampe-jampe, nyawer anak, dan mandi bunga pada anak yang dikhitan. Sebagai tontonan, seni benjang muncul pula dalam acara peringatan hari-hari nasional maupun hari jadi suatu daerah.


  Sebagai bentuk kesenian rakyat, benjang memiliki unsur-unsur penunjang dalam pertunjukannya, di antaranya adalah pelaku benjang yang jumlahnya tidak terbatas namun dibagi menjadi pasangan-pasangan (petanding). Pemusik berjumlah 7 (tujuh) orang. 4 (empat) orang menabuh terbang, seorang meniup terompet, seorang memainkan kendang dan seorang menabuh kecrek. Wasit dalam benjang biasanya adalah pimpinan rombongan yang sekaligus mengatur semua jalannya pertunjukan benjang.
  Kini benjang betul-betul menjadi seni hiburan dan tontonan masyarakat karena memiliki unsur gulat tradisional. Kesenian ini menyebar di daerah-daerah sekitar Cinunuk dan Ujung Berung, Bandung.


Sumber : Deskripsi kesenian Jabar (Ganjar Kurnia, Arthur s. Nalan)

Penulis : L Gilang Hermansyah
Nim : 18123041

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tari Wayang

Gending Karesmen

Tari Umbul