Gondang
Gondang
Kata Gondang menurut KBBI mempunyai arti pohon yang tinggi besar, kulit batangnya mengeluarkan getah putih yang dapat diolah menjadi lilin untuk membatik. Namun di tatar Sunda, gondang memiliki makna “ngayun” yang dipercaya sebagai perilaku masyarakat Sunda untuk menghormati Nyi Dewi Sari Pohaci atau lebih terkenal dengan nama Dewi Sri ( Padi ). Sedangkan kata Buhun mempunyai arti tua atau kuno. Jadi Gondang Buhun adalah sebuah kesenian yang isinya merupakan ritual pada saat musim panen berakhir, dan merupakan bentuk rasa syukur pada sang maha pencipta atas hasil yang melimpah.
SumberGambarYouTube https://youtu.be/rLZSxZx5_j0
Gondang ini merupakan alat tumbuk padi yang terdiri dari lisung dan tongkat. Konon memiliki aura ghaib kuat dan selalu menjadi symbol sebagai tanda mulanya masa tanam dan panen.
Seni gondang merupakan kesenian warisan kerajaan Galuh yaitu dari seorang pandita yang bernama Ki Ajar Sukaresi pada abad ke-6 dan merupakan kekhasan masyarakat agraris yang sudah berkembang sejak jaman klasik. Kesenian ini berkembang dalam budaya huma dan sawah. Keberadaan padi dan alat penumbuknya, membangun rasa kreatif yang akhirnya melahirkan seni Tutunggulan.
Seni Tutunggulan ,umcul lebih awal disbanding gondang. Kaarena berkaitan dengan proses pengolahan padi menjadi berasyang membutuhkan perangkat Alu dan Lesung sebagai alat manual untuk mengupas kulit padi dengan cara ditumbuk. Suara lesung akibat halu saat menumbuk padi menghasilkan bunyi yang teratur.
Pekerjaan menumbuk padi seleps panen, yang dilakukan oleh kaum wanita biasanya dilakukan secara bergotong royong dan jika dilakukan pada satu lesung yang sama, maka mau tidak mau menimbulkan suara bertalu bersahutan yang kemudian sejalan dengan perkembangannya dijadikan inspirasi untuk diatur agar memiliki ritme yang harmonis dan polyphomis yaitu adanya keragaman suara yang dihasilkan oleh ketukan atau pukulan alu terhadap lesung akibat setiap penumbuk memiliki ketukan yang berbeda.
SumberGambarYouTube https://youtu.be/rLZSxZx5_j0
Untuk memuat suasana menjadi ceria, maka pola tutunggulan yang sudah teratur diisi dengan nyanyian yang dikawihkan yang disebut dengan Gondang, dan kawih ini dinyanyikan dengan cara rampak (bersama-sama). Lulugu kawih dipimpin oleh seorang wanita yang menjadi tetua romboongan kawih.
Lulugu dalam gondang disebut gugundi, wanita yang mengurus padi sebelum ditumbuk. Sedangkan ada istilah punduh yang berarti sesepuh adalah seseorang yang memimpin atau mengurus ritual sebelum ngagondang. Dan kegiatan ngagondang ini biasanya dilakukan dengan cara berkelompok.
Satu lesung oandang dimainkan oleh empat sampai 10 orang wanita. Jumlah tersebut biasanya tergantung panjangnya lesung. Pada seni gondang yang terdapat di Kampung Adat Kuta, Tambaksari ini, jumlah pemain berkisar antara 6-10 orang. Jumlah pemain gondang harus genap, supaya tidak terjadi kepincangan dalam ketukan.
Sebagai seni yang berhubungan dengan budaya agraris, gondang buhun kampong adat Kuta sudah ada sejak masa sebelum Islam, seperti juga halnya seni Rengkong. Dalam “ wawacan sulanjana “ disebutkan, yang mengurus Sripohaci sebagai symbol padi yang berjumlah tujuh ranggeuy (untai) adalah Aki Sulanjana. Hal ini juga di tegaskan oleh sesepuh adat kuta, Aki Sanwarno. Dikatakan bahwa Sulanjana adalah tokoh yang ngarorok (merawat) Sripohaci. Ngarorok atau merawat merupakan silloka “symbol” dari proses panen padi.
Dalam mupusti padi (nganyarayan) disebutkan bahwa untuk mengawali panen harus melewati proses ritual. Misalnya, padi yang pertama akan ditumbuk didalam lisung di perlakukan secara khusus, istilahnya ditimang dengan melantunkan kawih. Proses ini pada perkembangannya disebut gondang, dan padi yang biasa ditimang disebut pare pageuh.
Dalam catatan Warsim Setiawan, ketua Kampung Adat Kuta dan keterangan dari Idar Tarsih, ketua Seni Gondang Buhun Kampung Kuta, generasi sebelumnya yang menggiatkan kesenian gondang diantaranya bernama Rustiwi, Wasiti, Ruswi, Warsem dan Tayu yang berkiprah antara tahun 1910-1935. Selanjutnya seni Gondang dilanjutkan oleh Idar Tarsih, cucu Ruswi, yang mulai mempelajari Gondang saat berusia 25 tahun. Menurut Idar, proses belajar yang dijalaninya seperti tradisi sebelumnya. Lagu yang dikuasai harus apal cangkem alias tidak boleh ditulis dan Angking adalah lagu pertama yang dihapalkannya.
Kini bersama rekan seangkatannya yaitu Saryi, Engkan, Kartini dan Darsewi yang juga turunan dari penggiat sebelumnya, menjadi generasi terakhir yang aktif melestarikan seni gondang di Kampung Adat Kuta. Idar dan kelompoknya yang telah menguasai 20 kawih melakukan pentas perdana pada 1982, saat Kampung Adat Kuta mendapatkan penghargaan Kalpataru.
Seni Gondang Kuta didasari dua unsur karawitan, yaitu seni Tutunggulan yang merupakan pola ritmis ketukan halu yang berbeda. Dalam Tutunggulan ini tidak diiringi lagu. Unsur kedua adalah seni Gondang yaitu kawih yang didendangkan secara rampak.
Dalam Tutunggulan Kampung Kuta ada tiga pakem pola tabuh yang baku dan harus berurutan dalam menempatkannya. Pola partama adalah kentrung pembukaan yang disebutnya Banjet, kentrung tengah disebut Ti Hulu, dan pola terahir adalah Rangrang Muncang. Kawih Gondang umumnya berupa paparikan.
Ada 20 lagu yang biasa di kawihkan oleh Idar Tarsih yaitu: Angkring, Mupu Kembang, Lais, Kurung Manuk, Angkris, Cangkurileung, Nyira, Layung Nangtung, Nimu Kored, Tikukur, Budak Benggol, Reundeu Peueut, Nyai Sarongget, Meuleum Susuh, Budak Hideung, Hayam Jago, Anak Monyet, Nyai Dangdeung, Ica-ica jeung Ngajul Jeruk. Sedangkan alat musik lainnya yang mengiringi Gondang diantaranya kendang, goong dan kecrek.
Kesimpulan: Seni Gondang Buhun dari Kampung Adat Kuta, Desa Karangpanimbal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, merupakan warisan leluhur kerajaan Galuh yang memiliki nilai kearifan local dan dilestarikan secara turun temurun.
Merupakan bentuk rasa sukur kepada yang maha esa serta pada para tokoh yang dianggap sacral disana.
Sumber Materi : Kuncen Aki Maryono
Penulis : Alkha khoerul krisnamukti
NIM : 18123001
Komentar
Posting Komentar