Keroncong

   Selamat datang kembali di Warta Sunda. Pada kali ini, kita akan membahas sebuah kesenian dari wilayah DKI Jakarta yang mendapat julukan sebagai musik jazz nya Indonesia. Ya, betul sekali. Kita akan membahas kesenian Keroncong. Tidak perlu berlama-lama lagi, mari kita langsung ke pembahasannya.

     Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, kesenian Keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa Portugis sejak abad ke-16 ke Nusantara. Pernyataan tersebut selaras dengan buku yang berjudul Krontjong Toegoe karya Victor Ganap yang diterbitkan oleh BP-ISI Yogyakarta tahun 2011 yang menyebutkan bahwa asal mula musik keroncong di Nusantara berawal dari kedatangan bangsa Eropa dalam hal ini adalah para armada dagang bangsa Portugis yang dipimpin oleh Tomé Pires pada tahun 1513 (abad ke-16) yang sedang singgah di pelabuhan Sunda Kelapa dalam pelayaran dari Malaka ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Selain kedua sumber tersebut, kami juga menggali informasi terkait musik keroncong dengan mewawancarai saudara Ilham Purnama atau biasa dipanggil 'om Ilham' yang merupakan salah satu penggiat dan pendiri grup musik keroncong Sorasae di daerah Cicalengka, Kabupaten Bandung. Beliau membenarkan akan apa yang telah dibahas di awal paragraf. Lalu ia menambahkan bahwasanya musik keroncong merupakan salah satu hasil akulturasi dari salah satu jenis musik Portugis yang bernama Moressco.


Om Ilham sedang bermain alat musik cello
yang biasa menjadi ritmis/pengatur tempo
dalam musik keroncong.

     Pada tahun 1641 VOC yang sudah berdiri di Nusantara sejak awal abad 17 berhasil merebut kekuasaan Portugis di Malaka. Kemudian VOC membawa beberapa tawanan ke Batavia (Jakarta) untuk dijadikan budak oleh pihak VOC. Kemudian pihak VOC menawarkan pembebasan kepada para tawanan Portugis dengan syarat mereka harus berpindah agama dari Katolik menjadi Kristen Protestan. Setelah bersedia berpindah agama, VOC memberikan mereka sebuah area permukiman di luar Batavia, yang sekarang dikenal dengan sebutan Kampung Tugu.
     Di Kampung Tugu pula pada tahung 1920-an berdiri komunitas yang tetap mempertahankan keportugisan mereka yang terdiri dari sembilan keluarga besar;  Abrahams; Andries; Cornelis; Michiels; Salomons; Seymons; Quiko; de Sousa; dan Braune. Komunitas yang juga memiliki sistem kekerabatan yang terbentuk dari kehidupan mereka sehari-hari sebagai petani, selain ikatan primordial yang terbentuk melalui jatidiri keportugisan mereka. Mereka dikenal sebagai komunitas Tugu, komunitas yang telah melahirkan bentuk musik yang dikenal sebagai genre Krontjong Toegoe. Mereka merupakan pewaris budaya Portugis yang berhasil menjalani peran historis sebagai pelopor dari kelahiran musik keroncong di tanah air. Kepeloporan itu berawal dari sebuah tradisi yang dimiliki komunitas Tugu berupa musik Portugis abad keenambelas yang diwariskan kepada mereka. Musik itu dibawa oleh para pelaut Portugis sejak abad kelimabelas dari ibukota Lisbon, kota Coimbra, wilayah propinsi barat laut Minho dan Douro, serta wilayah kepulauan Azores dan Madeira di Samudera Atlantik, ketika mereka melakukan pelayaran ke Timur. Menurut naskah Peregrinação tentang petualangan pelaut Portugis, Fernão Mendes Pinto pada tahun 1555 bersama rekannya de Meirelez, vokalis dan pemusik yang handal turut membawa cavaquinho, gitar kecil Portugis dalam pelayaran mereka ke Cina. Naskah itu juga memuat laporan Philipe de Caverel pada tahun 1582 yang menyebutkan tentang pelayaran sepuluh ribu gitar cavaquinho, yang berangkat bersama para pelaut Portugis ke Marokko. Naskah itu menunjukkan bahwa instrumen musik Portugis cavaquinho telah populer sejak abad keenambelas, sehingga tidak mustahil juga terbawa dalam pelayaran mereka ke Timur melalui Goa hingga ke Maluku, atau pelayaran melalui Karibia hingga ke Hawaii. Sejarah menunjukkan bahwa hanya musik Portugis yang diwariskan dalam bentuk Krontjong Toegoe di Kampung Tugu itulah yang tetap hidup hingga saat ini, dan menjadi salah satu komponen yang integral dalam kehidupan bermasyarakat di Kampung Tugu. Istilah Krontjong Toegoe sengaja ditulis menurut ejaan aslinya dalam bahasa Melayu seperti yang mereka gunakan sejak menempati Kampung Tugu pada tahun 1661, selain untuk menekankan pada nilai historis dan jatidiri genre musikal yang terkandung di balik penamaan itu.


Orkes keroncong Sorasae saat tampil di
acara HUT salah satu prodi
di kampus Universitas Islam Negeri.

     Saat ini keberadaan musik keroncong secara nasional telah diakui sebagai salah satu dari khasanah musik Indonesia. Musik keroncong bahkan telah memiliki para pendukung dan penggemarnya yang tersebar di seluruh Nusantara, yang menandakan bahwa musik keroncong telah diterima dan menjadi milik bangsa Indonesia. Secara musikologis keroncong termasuk dalam jenis musik tradisi populer karena merupakan sebuah tradisi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat perkotaan. Namun bagi komunitas Tugu di Kampung Tugu, musik keroncong merupakan sebuah tradisi yang diwariskan secara turun temurun.
     Alat musik yang biasa dimainkan di dalam musik keroncong ini adalah ukulele cuk, ukulele cak, gitar, flute, biola, cello, dan juga kontrabass. Namun, orkes keroncong Sorasae mengganti alat musik seperti flute dengan suling bangsing dan juga tidak memakai alat musik biola. Untuk alasan jelasnya kami tidak menggali lebih dalam akan hal tersebut. Untuk lebih jelasnya simak pembahasan tentang alat musik yang biasa dipakai dalam musik keroncong di bawah ini.

1. Ukulele cuk, berdawai 3 (nilon), urutan nadanya adalah G, B, dan E; Sebagai alat musik utamayang menyuarakan crong-crong sehingga disebut musik keroncong. Ditemukan tahun 1879 di Hawaii dan merupakan awal tonggak mulainya musik keroncong;
2. Ukulele cak, berdawai 4 (baja/kawat/string), urutan nadanya adalah A, D, F#, dan B. Jadi ketika alat musik lainnya memainkan tangga nadi C, cak bermain pada tangga nada F;
3. Gitar akustik sebagai gitar melodi, dimaikan dengan gaya kontrapuntis (anti melodi);
4. Biola;
5. Flute;
6. Cello, sebagai alat pengatur tempo yang peranannya hampir sama dengan alat musik kendang; dan
7. Kontrabass.



     Mungkin sekian pembahasan kali ini yang membahas tentang musik keroncong yang merupakan kesenian asli dari Indonesia. Kita sebagai generasi milenial berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan budaya yang telah diwariskan oleh para seniman yang telah susah payah dalam mengembangkan tradisi tersebut. Mohon maaf bila masih banyak kesalahan, baik itu dalam segi penulisan ataupun materi yang kita angkat dan terima kasih kepada seluruh penikmat laman Warta Sunda yang sudah setia menunggu dan membaca setiap informasi yang kami sajikan.






Sumber:
1. https://id.m.wikipedia.org/wiki/keroncong
2. Buku yang berjudul Krontjong Toegoe karya Victor Ganap
3. Wawancara dengan saudara Om Ilham Purnama

Ditulis oleh: Rhesa Muhammad Farand (18123034)
Follow terus akun Instagram Warta Sunda di @wartasunda212
Follow juga @rhesaamfarand11 dan @krontjongsorasae

Komentar

  1. Mantap min makasih infonya 🙏🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah mengunjungi laman blog kami, sobat. Terus pantengin blog kami agar kami semangat untuk membagikan informasi tentang seni dan budaya yang ada di Indonesia

      Hapus
  2. Balasan
    1. Terima kasih telah mengunjungi laman blog kami, sobat. Terus pantengin blog kami agar kami semangat untuk membagikan informasi tentang seni dan budaya yang ada di Indonesia

      Hapus
  3. Musik keroncong biasa di sajikan dalam acra apa min?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Macam-macam, sobat. Biasanya musik ini terdapat di cafe-cafe atau di tempat hiburan yang mengusung tema modern klasik. Bahkan di acara pernikahan pun bisa menyajikan musik keroncong.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tari Wayang

Gending Karesmen

Tari Umbul