Kliningan


Kliningan 

     Seiring dengan kemajuan zaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang awalnya dipegang teguh, dipelihara dan dijaga keberadaannya kini sudah hampir punah salah satunya di Jawa barat yang didalamnya memiliki banyak kebudayaan yang khas dan menarik, salah satunya adalah kesenian kiliningan. Kesenian ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat sunda. Walaupun sudah jarang ditampilkan secara khusus, namun materi kesenian ini akan selalu tampil dalam pergelaran seni Wayang Golek Purwa dalam bentuk sejak kiliningan.    


Sumber Gambar : Dokumen Pribadi Yayan Supriyatna

     Kesenian kiliningan muncul dan berkembang pada kehidupan masyarakat sunda. Di daerah Subang pada tahun 1960-an muncul kesenian bajidoran yaitu jenis kesenian tari pergaulan masyarakat golongan menengah kebawah, yang mana materi lagu yang dipakai untuk mengiringi tari dalam bajidoran sama dengan lagu-lagu yang sering dibawakan pada kesenian kiliningan. Kesenian ini hampir sama dengan kesenian ketuk tilu atau celempungan yang bersifat kalangenan.
      Kiliningan berasal dari nama salah satu waditra yang pada mulanya dijadikan salah satu waditra dalam kesenian ini, yaitu Kilining (waditra dari gamelan jawa) yang memiliki bentuk seperti saron, namun jumlah bilahnya lebih banyak yakni antara 9-14 bilah tetapi dalam penyajiannya saat ini, waditra kilining tersebut sudah tidak digunakan lagi karena semakin jarangnya orang yang dapat memainkan waditra kilining. Walaupun waditra kilining sekarang sudah tidak digunakan lagi dalam penampilannya, nama kesenian ini tetap saja disebut kiliningan. Selain diambil dari nama sebuah waditra, istilah kiliningan ini juga sebagai pembeda dengan iringan lagu dalam pertunjukan wayang golek.
     Materi seni kiliningan terdiri atas dua unsur yang menyatu, yaitu juru sekar (sinden) dan juru gending (nayaga/pangrawit). Juru sekar dalam kiliningan ada dua jenis, yaitu juru sekar wanita yang lazim disebut sinden dan juru sekar pria yang biasa disebut wiraswara. Dalam pelaksanaannya kesenian kiliningan di setiap daerah mempunyai nama yang berbeda dan konsep garap musikal yang berbeda juga. 
       Dalam menyanyikan lagu-lagu para juru sekar harus mengikuti aturan gending (musik pengiringnya) yang dimainkan oleh para nayaga. Waditra-waditranya terdiri atas dua buah saron, peking, demung, bonang, rincik, kenong, kempul dan goong, ketuk, kempyang, gambang, kendang, dan rebab. Setiap waditra dimainkan oleh seorang nayaga (panayagan) atau disebut juga pangrawit yang pada umumnya kaum laki-laki. Para pangrawit dalam kiliningan dipimpin oleh seorang yang kadang-kadang juga merangkap sebagai pemain salah satu waditra. Pengatur permainan ini lazim disebut lurah sekar.
     Materi yang utama disajikan dalam kiliningan adalah lagu-lagu khas kiliningan yang pada umumnya berbentuk sekar tandak yang dibawakan oleh juru sinden dan wiraswara. Lagu-lagunya merupakan gabungan dari lagu-lagu tradisi yang kadang sudah tidak diketahui lagi penciptanya dan lagu-lagu pola tradisi gubahan baru, atau lagu-lagu yang masih diketahui pencipta atau penggubahnya seperti: Lagu Es Lilin karya Bu Mursih, Sakadang Kuya dan Torotot Heong karya RTA Sunarya dan lain sebagainya.
      Penggarapan kiliningan di Jawa Barat pada umumnya memiliki keragaman bentuk dan tingkatan irama. Adapun bentuk gending diantaranya: Gurudugan, Rerenggongan, Sekar Alit, Sekar Tengahan dan Sekar Ageung. Sedangkan tingkatan iramanya terdiri dari irama kering tilu, kering dua, kering hiji (yang lazim disebut dengan irama sawilet), dua wilet, opat wilet, lalamba, dan irama merdika (bebas irama). 
      
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi Yayan Supriyatna 

     Awal dimulainya pertunjukan kiliningan biasanya akan disajikan gending bubuka/tatalu terlebih dahulu. Setelah gending bubuka/tatalu selesai dilanjutkan pada lagu-lagu khusus yang dianggap sakral dan mengandung do’a yang berfungsi sebagai pengganti do’a keselamatan. Lagu-lagunya adalah: Kidung, Kembang Gadung, atau Sulanjana. Setelah lagu bubuka dilanjutkan dengan lagu-lagu lainnya baik yang sengaja disajikan seniman kiliningan atau lagu-lagu atas permintaan penonton melalui secarik kertas yang diselipi sejumlah uang. Jenis lagu dalam kiliningan dibedakan menjadi dua macam yaitu jenis lagu tembang yang dalam kiliningan lazim disebut bawa sekar dan lagu-lagu jenis kawih atau sekar tandak yang terbagi menjadi tiga macam yaitu Renggong Alit, Renggong Tengah, dan Renggong Ageung.
   Seni kiliningan tergolong jenis karawitan sekar-gending. Itulah sebabnya juru kawih atau disebut juga pesinden sangat memegang peranan penting dalam seni kiliningan. Bagi generasi tua yang pernah mengalami masa kejayaan kiliningan pada sekitar tahun 60-an, masing-masing akan mempunyai sinden favorit antara dua idola masyarakat yaitu Upit Sarimanah dan Titim Fatimah. 
   Selain sinden waditra kendang pun juga mempunyai peranan penting dalam permainan kiliningan, yaitu berfungsi sebagai pengatur ritme, tempo, wiletan serta wirahma lagu. Selain waditra kendang ada juga waditra lain yang berperan penting dalam kiliningan yaitu rebab. Seperti yang diungkapkan oleh Raden Machjar Angga Kusumadinata dalam bukunya yang berjudul Pangawikan Rinenggaswara.
“Numutkeun babasaan para wijaga nu djadi radjana kanajagan teh nja eta rebab. Parabot-parabot gending nu sanes sadajana kedah tunduk kana rebab. Kendang djadi papatihna, nu ngatur wiletan, gerakan irama sareng wirahma, numutkeun parentah rebab. Gong (goong) minangka djaksana di salebeting nagara kanajagan, nungabagi-bagi kanajagan, didjadikeun sababaraha gongan, numutkeun darma (pangadilan, wet), nu mutus, nu njatjapkeun kalangenanana kanajagan. Parabot-parabot gending nu sanes minangka para prijajina (para ponggawa mantrina).”
Yang artinya:
“Menurut apa yang sering dikatakan oleh para pemain gamelan bahwa yang menjadi rajannya seperangkat gamelan yaitu rebab. Alat-alat gamelan yang lain semuannya harus tunduk kepada rebab. Kendang jadi patihnya, yang mengatur wiletan, gerakan irama dan wirahma, berdasarkan perintah rebab. Gong (goong) diumpamakan sebagai jaksa di suatu negara para pemain gending, yang membagi-bagi pemain gending, dijadikan beberapa gongan, berdasarkan tugas (pengadilan, wet), yang membagi, yang memfokuskan permainan seperangkat gamelan. Waditra yang lain diibaratkan para priyayinya (para ponggawa mentrinya).”
 Rebab dalam pertunjukan kiliningan bisa memainkan laras yang berbeda-beda dalam tingkatan embat/irama yang berbeda. Dalam penyajiannya rebab mempunyai peran penting dalam ensambel gamelan besar maupun ensambel kecil. Di mana hal ini bisa dilihat pada awal lagu atau gending, di mana salah satu di antaranya waditra yang mulai memberi komando adalah rebab, yaitu melalui pangkat atau arang-arang. 
    Pada masa sekarang kesenian kiliningan ini keberadaannya sudah jarang kita jumpai, baik di kalangan masyarakat umum atau di lingkingan para senimannya, padahal kesenian kiliningan ini cukup banyak disukai oleh masyarakat sunda. Berbagai upaya untuk merevitalisasi pun telah dilakukan oleh berbagai pihak/organisasi, paguyuban untuk mengangkat kembali kesenian kiliningan dari keterpurukan salah satunya yaitu dengan menyelenggarakan pasanggiri kepesindenan dan menyiarkannya di radio-radio atau televisi. 

Sumber: buku Ragam Cipta dan skripsi S1 Risna Suryana: Rebab Pamatri Rasaning Ati
Penulis : Yayan Supriyatna 
Nim: 18123008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tari Wayang

Gending Karesmen

Tari Umbul