Tarawangsa
Di daerah Sunda terdapat alat musik gesek yang keberadaannya telah lama sekali, yaitu Tarawangsa. Keberadaan tarawangsa lebih tua daripada rebab, alat gesek lain. Naskah kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 (atau sebelum abad ke-15 M) telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Sebagai nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai menyerupai kecapi yang disebut Jentréng. Kesenian tarawangsa hanya ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, dan juga nyanyian.
Dokumentasi Santy Amalia Mulqy
pada acara ngalaksa di
Rancakalong, 21 September 2018
Kesenian tarawangsa merupakan sebuah bentuk kesenian yang didalamnya terdapat dua alat musik yang terdiri dari jentréng dan tarawangsa. Menurut Ubun Kubarsah dalam bukunya yang berjudul Waditra menjelaskan bahwa tarawangsa di daerah Sumedang disebut ngékngék. Istilah tersebut diambil dari waditra alat gesek tersebut, yang ketika digesek menghasilkan bunyi ngeeek (bila dibunyikan menghendaki panjang) sebab itulah tarawangsa disebut ngékngék. Adapun waditra jentréng yang bentuknya menyerupai kacapi ini pun sama halnya dengan tarawangsa, yakni penamaannya didasarkan atas bunyi yang dihasilkannya. Berbeda dengan kacapi yang memiliki banyak dawai, jumlah dawai yang ada pada jentréng ini hanya memiliki sebanyak tujuh dawai. Hal ini menggambarkan jumlah hari dalam satu minggu sebagai penghargaan atas kala bagi para petani dalam menunggu hari panen (hasil wawancara Cece).
Walaupun sudah jarang ditampilkan di daerah lainnya, tetapi di daerah Rancakalong, Kabupaten Sumedang kesenian ini selalu diadakan pada acara upacara ritual yang lebih dikenal dengan istilah ngalaksa. Upacara ini berfungsi sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Padi yang dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Jika dilihat dari konsep pertunjukannya, apa lagi di zaman sekarang ini kesenian selalu dipandang sebagai media hiburan, tarawangsa mungkin dapat dikatakan tidak menarik untuk ditonton oleh khalayak. Adapun susunan acara pokok pada pertunjukan kesenian tarawangsa salah satunya pada acara upacara ngalaksa adalah sebagai berikut:
- Acara tawasul atau do’a bersama yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk rasa syukur dan untuk mendo’akan para leluhur.
- Setelah acara tawasul atau do’a bersama selesai, biasanya akan disajikan sebuah sajian bubuka yang terdiri dari lagu-lagu: Saur, Pangapungan, Pamapag, Gelar Mataram, Panimang, Pangameut, dan Keupat Eundang.
- Nyumanggakeun yang mana pada bagian ini terdapat seorang saéhu pameget (penari pria yang merupakan sesepuh) yang akan menjemput para penari wanita saat membawa bibit padi dari lumbung atau tempat penyimpanan beras (goah) ke tempat ritual dengan menari-nari yang disebut dengan ibingan badaya. Adapun lagu yang biasa digunakan dalam mengiringinya yakni lagu: Saur, Pangapungan, Pamapag dan Gelar Mataram.
- Ngalungsurkeun ang mana pada bagian ini terdapat lima orang penari wanita yang disebut dengan paibuan, yang bertugas membawa bibit padi ke tempat ritual dengan menari-nari mengikuti irama musik tarawangsa. Adapun lagu yang biasa dipakai pada bagian ini adalah lagu palulungsur.N
- Nyawer Dewi Sri yang mana pada bagian ini ter dapat lima orang penari wanita (paibuan) yang bertugas untuk memercik-mercikan air yang sudah di berikan do’a pada saat tawasul atau dapat disebut dengan istilah air panawajuh, yang mana pada saat memercik-mercikan air tersebut penari sembari menari melingkar mengikuti alunan musik yang biasa dipakai pada saat adegan ini yaitu lagu Keupat Eundang atau jika pada lagu kawih atau kiliningan disebut dengan lagu ayun ambing.I
- Ibingan saéhu pameget yang mana pada bagian ini terdapat seorang penari pria yang mengenakan ikat kepala yang disebut dengan iket, serta memakai baju salontréng dan samping kebat yang dilengkapi dengan aksesoris keris dan selendang empat warna yaitu wana putih, merah, hijau dan kuning. Adapun lagu-lagu yang biasa dimainkan pada bagian ini diantaranya lagu: jemplang, panimang, angin-angin, limbangan dan badud.I
- Ibingan saéhu istri yang mana pada bagian ini terdapat lima orang penari wanita (paibuan) yang memakai gelung dan memakai sisir, serta dilengkapi dengan selendang empat warna yang ditambah saebuah selendang bercorak (solendang reunda). Bagian ini biasa disebut dengan istilah lalayaran yang didalamnya berupa sebuah permainan air oleh salah seorang penari wanita yang disebut dengan istilah saéhu istri kepada sang pemangku hajat atau yang biasa disebut sebagai panganggo. Adapun lagu-lagu yang biasa dimainkan pada bagian ini diantaranya lagu: saur, pangapungan, pamapag, gelar mataram, panimang, limbangan dan badud.
- Setelah beberapa bagian yang dipaparkan diatas barulah masuk kedalam sesi hiburan. Sesi hiburan disini ditujukan untuk sang pemangku hajat dan kerabat keluarga dan juga memberi kesempatan bagi orang-orang yang mau ikut menari atau kaul. Pada pelaksanaannya hiburan ini dibagi dua, yang pertama untuk wanita dan yang kedua untuk pria hal ini dikarenakan para wanita dan pria tidak boleh menari bersama-sama. Biasanya para pria baru akan diizinkan menari apabila waktu sudah menunjukan tegah malam atau jam duabelas. Adapun lagu yang dimainkan pada bagian hiburan ini sesuai dengan keingingan dan selera si penari yang ingin menari. Lagu yang sering dipakainya antara lain lagu: reundeu, angin-angin, jemplang, degung dan sebagainya.
- Perpuhaci. Pada bagian ini para penari wanita atau paibuan menari melingkari saéhu sambil memercik-mercikan air yang didalamnya terdapat uang koin. Bagian ini juga disebut dengan istilah ngebak.
- Rangkaian yang terakhir adalah mengembalikan benih padi yang dibawa pada saat ngalungsurkeun. Prosesnya benih padi dibawa dari tempat ritual oleh saéhu pameget dan diberikan kepada paibuan untuk dibawa keluar tempat ritual. Adapun lagu yang dimainkan pada sesi ini yaitu lagu bangbalikan/pangbalikan dan acara ritual pun berakhir.
Dokumentasi Santy Amalia Mulqy
pada acara ngalaksa di
Rancakalong, 21 September 2018
pada acara ngalaksa di
Rancakalong, 21 September 2018
Terlepas dari hal itu, tarawangsa di daerahnya tetap bertahan hidup karena selain fungsinya sebagai media upacara ritual, tarawangsa pun dapat merambah menjadi pertunjukan diluar kepentingannya sebagai media upacara ritual. Seperti yang terjadi di daerah Rancakalong, Kabupaten Sumedang, selain sebagai media upacara ngalaksa pun sering ditampilkan dalam acara syukuran tahunan seperti dalam acara muharraman / mubur suro, muludan dan hajat lembur, atau juga pada acara-acara hiburan seperti pada acara hajatan, pernikahan dan khitanan.
Ditulis oleh Yayan Supriyatna (18123008)
Ikuti instagram kami di @wartasunda212
Komentar
Posting Komentar